KUMPULAN TUGAS MAKALAH SEKOLAH DAN KULIAH: DEFENISI DAN MAKNA SASTRA

Apa itu Sastra?

Ketika memikirkan definisi sastra, hampir semua ahli tidak lupa menyatakan bahwa definisi sastra tidak mungkin berlaku untuk segala usia dan semua lingkungan budaya. Ciri-ciri karya yang pada zaman atau lingkungan budaya tertentu dianggap sebagai ciri sastra, bisa jadi dianggap tidak relevan pada zaman dan lingkungan budaya lain.

Ditinjau dari segi realitas, sastra adalah karya seni dalam bidang bahasa yang memenuhi fungsi estetis dalam lingkungan budaya tertentu. Sastralah yang mencirikan keunggulan bahasa sebagai alat dan bagian dari kebudayaan. Karena bahasa dan budaya selalu berubah sesuai dengan perubahan atau perkembangan masyarakat pendukungnya, maka secara alami sastra juga berubah sebagai bagian dari perubahan bahasa dan budaya.

Namun dalam prakteknya, masyarakat tetap berusaha mendefinisikan sastra atau setidak-tidaknya menentukan ciri-ciri karya sastra, agar nantinya dapat dibedakan antara teks sastra dan nonsastra atau antara satu jenis teks sastra dengan jenis teks sastra lainnya.

Pada awalnya untuk pengertian sastra biasanya digunakan kata sastra. Sebagaimana dijelaskan Badudu (1985:5), kata sastra berasal dari bentuk dasar sastra yang diberi akhiran an. Bentuk dasar sastra (berasal dari bahasa Sanskerta) juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu su yang berarti baik dan sastra yang berarti tulisan. Bentuk sastra itu sendiri tidak populer kecuali dalam bentuk sastra yang berarti segala sesuatu yang tergolong tulisan yang baik. Effendy (dalam Badudu, 1986: 5) juga memasukkan bahasa lisan dalam pengertian sastra, yaitu “Sastra (sastra) adalah ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan dan tulisan yang dapat menimbulkan perasaan senang”.

Makna sastra atau sastra juga hampir selalu digambarkan dari sudut pandang pragmatis. Ungkapan bahasa Latin “utile dulci” dari Ars Poetica karya Horace telah dianggap sebagai suatu keharusan dalam tugas menulis karya sastra hingga saat ini, yaitu menggabungkan yang bermanfaat dengan yang menyenangkan. Ungkapan ini memang terbukti universal, karena melekat pada fitrah manusia sebagai makhluk yang dikaruniai keunggulan akal pikiran dan hati perasa.

Akhirnya, perkembangan sastra dan sastra modern yang pesat dan mandiri menyebabkan definisi sastra semakin terikat pada waktu dan lingkungan budaya tertentu. Pemahaman sastra cenderung dideskripsikan dari sudut pandang komunikasi, yaitu suatu bentuk penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dengan caranya sendiri. Batasan pemahaman tentang sastra lebih umum dilakukan dengan mencari beberapa gejala umum yang terdapat pada teks sastra yang membedakannya dengan teks nonsastra. Gejala umum yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

TEKS BUKAN SASTRA

TEKS SASTRA

o bekerja dalam komunikasi praktis, siap dan dapat digunakan langsung dan digunakan.

HAI
Tidak harus memenuhi fungsi estetika dalam lingkungan budaya tertentu.

o umumnya ditandai dengan objektivitas atau realitas.

o umumnya menekankan penggunaan bahasa sederhana: bahasa lugas, sederhana, logis atau gramatikal.

o Biasanya menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person) secara konsisten.

o Judul langsung menggambarkan isi.

HAI
Tidak
fungsi dalam komunikasi praktis, tidak siap dan tidak dapat digunakan dan dimanfaatkan secara langsung.

o harus memenuhi fungsi estetika dalam lingkungan budaya tertentu.

o umumnya ditandai dengan fiksi atau fiksi.

o umumnya menyoroti penggunaan bahasa khusus: paralelisme, metafora, bahasa kiasan, atau bahasa yang tidak sesuai tata bahasa.

o biasanya menggunakan sudut pandang yang berbeda dengan berbagai cara.

o judul tidak secara langsung menggambarkan isi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian sastra cukup beragam dan selalu berubah sesuai dengan perbedaan dan perubahan tradisi dan konsep estetika yang terjadi dalam penciptaan karya sastra pada masa dan lingkungan budaya tertentu. Dalam kaitannya dengan perkembangan sastra Indonesia, hal ini antara lain ditandai dengan adanya pembagian atau pembedaan antara sastra lama dan sastra modern, atau penggolongan sastra ke dalam sastra klasik, sastra konvensional, dan sastra avant garde.

Pengelompokan sastra Indonesia sebagaimana tersebut di atas tentu saja sangat tergantung pada kapan kajian karya sastra itu dilakukan. Pada tahun 1920-an misalnya, semua karya sastra yang diturunkan dari mulut ke mulut yang berisi pandangan dan kepercayaan masyarakat lama digolongkan sebagai sastra lama, seperti mantra, pantun, dan dongeng atau cerita rakyat. Sementara itu, semua karya sastra yang disajikan dalam bentuk tulisan yang mengandung pandangan dan kepercayaan masyarakat baru tergolong sastra modern, seperti sajak-sajak berbentuk soneta dan kisah cinta karya sastrawan generasi 20-an misalnya. Pada awal kemerdekaan, puisi-puisi Chairil Anwar dan cerpen-cerpen Idrus tergolong sebagai pelopor sastra Indonesia modern, namun pada tahun 1980-an karya-karya sastra tersebut tergolong sastra konvensional dan menempati posisi sastra. adalah puisi dan cerita prosa kontemporer seperti puisi “Sihka dan Winka” karya Sutardji, novel “Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang atau “Telegram” karya Putu Wijaya, dan lain-lain.

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa (1) tidak ada definisi sastra yang berlaku universal; (2) nomenklatur sastra untuk berbagai tujuan pengelompokan selalu mengacu pada perbedaan bentuk dan isi; dan (3) salah satu konsep dasar sastra yang cenderung mampu menembus batas ruang dan waktu adalah kebenaran pandangan bahwa sastra adalah seni mengkomunikasikan atau mengungkapkan nilai-nilai kehidupan secara subyektif-imajinatif dengan menggunakan bahasa sebagai media ekspresi.

Apa itu Sastra Indonesia?

Berkaitan dengan kesimpulan terakhir di atas, kita patut bertanya: Apakah sastra Indonesia itu? Sebuah pertanyaan yang sangat wajar, karena wajar jika kita mengajukan pertanyaan “Apa itu sastra daerah?” Apa itu sastra asing? dan lain-lain”.

Bahasa dan sastra merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara bahasa dan sastra dapat diibaratkan seperti hubungan antara tubuh dan jiwa manusia. Sastra hanya ada setelah adanya bahasa sebagai media ekspresi. Ajip Rosidi pernah berkata: “… Semua sastra yang ditulis dalam bahasa daerah yang terdapat di seluruh nusantara disebut sastra Nusantra, sedangkan yang disebut sastra Indonesia hanyalah sastra yang ditulis dalam bahasa nasional Indonesia.” (Rosidi, 1986).

Meskipun demikian, fakta menunjukkan bahwa faktor bahasa tidak selalu dapat dijadikan dasar untuk membedakan satu sastra dengan sastra lainnya. Ada sastra yang mengikuti nama bahasanya, seperti sastra Sansekerta dalam bahasa Sanskerta, sastra Yunani dalam bahasa Yunani. Di sisi lain, ada juga sastra yang mengikuti nama bangsa (kewarganegaraan penulis), seperti sastra Amerika, sastra Australia, sastra Selandia Baru, dll, meskipun ditulis dalam bahasa Inggris. Bahkan ada sastra yang mengikuti nama bangsa meskipun ditulis dalam beberapa bahasa, sastra India, sastra Pakistan, sastra Filipina, dll.

Khusus untuk penamaan sastra Indonesia ternyata tidak semudah yang dipikirkan banyak orang selama ini. Faktor latar belakang bahasa Indonesia yang bersumber dari bahasa Melayu dan berkembangnya posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa nasional telah menimbulkan berbagai pendapat di kalangan para ahli dalam hal menentukan batas perbedaan antar bahasa. Sastra Melayu dan sastra Indonesia serta dalam menentukan batas waktu lahirnya sastra Indonesia. Menurut Abrar Yusra (dalam surat kabar PELITA, 17 Februari 1988), rumitnya penamaan sastra Indonesia sebagaimana diuraikan di atas terutama disebabkan oleh ambiguitas dalam penafsiran kata “Indonesia” itu sendiri. Kata “Indonesia” yang semula merupakan rumusan geografis dari sifat fisik, semakin memiliki makna transenden, abstrak, modern, dan kompleks.

Pada akhirnya yang perlu dicermati dari pandangan para ahli yang berbeda selama ini adalah bahwa kecenderungan penamaan sastra Indonesia dapat ditentukan berdasarkan tiga faktor utama, yaitu (1) faktor bahasa, (2) faktor nilai atau semangat nasionalisme/nasionalisme, dan (3) faktor pengarang . . Jadi, sastra Indonesia adalah semua karya sastra yang ditulis oleh sastrawan Indonesia yang mengungkapkan nilai-nilai atau semangat nasionalisme Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ungkapan.

Sastra: Cabang Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan

Dalam uraian tentang pengertian sastra dari segi etimologis dan pragmatis di atas, telah diuraikan secara gamblang tentang sastra sebagai karya cipta bahasa yang indah yang dapat menimbulkan kesenangan dan kegunaan bagi pengguna atau penikmatnya. Dalam arti demikian, sastra diposisikan sebagai produk seni. Karena seni merupakan salah satu unsur utama kebudayaan suatu bangsa, maka secara otomatis sastra juga merupakan salah satu cabang kebudayaan.

Ditinjau dari bentuk atau cara penyampaiannya, sastra adalah seni dalam bidang bahasa yang dapat dibedakan menjadi prosa fiksi (fiksi), puisi, dan drama. Dalam perkembangan selanjutnya, karya seni sastra khususnya drama ini juga berkembang menjadi seni pertunjukan. Dari segi kualitas isi dan bahasa, sastra serius juga dibedakan dengan sastra komersial.

Dari segi isinya, sastra cenderung disamakan dengan humaniora utama seperti filsafat dan agama. Budi Darma pernah mengatakan bahwa agama, filsafat, dan sastra memiliki tujuan yang sama yaitu “memanusiakan manusia”. Bahkan dapat dikatakan di sini bahwa agama, filsafat, dan sastra memiliki kecenderungan konsep penggunaan bahasa yang sama, yaitu mengutamakan etika dan estetika bahasa (komunikasi).